RSS

Kisah Abu Nawas Bagian 5

Raja Dijadikan Budak



Kadangkala untuk menunjukkansesuatu kepada sang Raja, Abu Nawas tidak bisa hanya sekedar melaporkannya secara lisan. Raja harus mengetahuinya dengan mata kepala sendiri, bahwa masih banyak di antara rakyatnya yang hidup sengsara. Ada saja praktek jual beli budak.
Dengan tekad yang amat bulat Abu Nawas merencanakan menjual Baginda Raja. Karena menurut Abu Nawas hanya Baginda Raja yang paling patut untuk dijual. Bukankah selama ini Baginda Raja selalu miempermainkan dirinya dan menyengsarakan pikirannya? Maka sudah sepantasnyalah kalau sekarang giliran Abu Nawas mengerjai Baginda Raja.
Abu Nawas menghadap dan berkata kepada Baginda Raja Harun Al Rasyid.
"Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada Paduka yang mulia."
"Apa itu wahai Abu Nawas?" tanya Baginda langsung tertarik.
"Sesuatu yang hamba yakin belum pernah terlintas di dalam benak Paduka yang mulia." kata Abu Nawas meyakinkan.
"Kalau begitu cepatlah ajak aku ke sana untuk menyaksikannya." kata Baginda Raja tanpa rasa curiga sedikit pun.
"Tetapi Baginda ... " kata Abu Nawas sengaja tidak melanjutkan kalimatnya.
"Tetapi apa?" tanya Baginda tidak sabar.
"Bila Baginda tidak menyamar sebagai rakyat biasa maka pasti nanti orang-orang akan banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu." kata Abu Nawas.
Karena begitu besar keingintahuan Baginda Raja, maka beliau bersedia menyamar sebagai rakyat biasa seperti yang diusulkan Abu Nawas.
Kemudian Abu Nawas dan Baginda Raja Harun Al Rasyid berangkat menuju ke sebuah hutan.
Setibanya di hutan Abu Nawas mengajak Baginda Raja mendekati sebuah pohon yang rindang dan memohon Baginda Raja menunggu di situ. Sementara itu Abu Nawas menemui seorang badui yang pekerjaannya menjuai budak. Abu Nawas mengajak pedagang budak itu untuk melihat calon budak yang akan dijual kepadanya dari jarak yang agak jauh. Abu Nawas beralasan bahwa sebenarnya calon budak itu adalah teman dekatnya. Maka dari itu Abu Nawas tidak tega menjualnya di depan mata. Setelah pedagang budak itu memperhatikan dari kejauhan ia merasa cocok. Abu Nawas pun membuatkan surat kuasa yang menyatakan bahwa pedagang budak sekarang mempunyai hak penuh atas diri orang yang sedang duduk di bawah pohon rindang itu. Abu Nawas pergi begitu menerima beberapa keping uang emas dari pedagang budak itu.
Baginda Raja masih menunggu Abu Nawas di situ ketika pedagang budak menghampirinya. la belum tahu mengapa Abu Nawas belum juga menampakkan batang hidungnya. Baginda juga merasa heran mengapa ada orang lain di situ.
"Siapa engkau?" tanya Baginda Raja kepada pedagang budak.
"Aku adalah tuanmu sekarang." kata pedagang budak itu agak kasar.
Tentu saja pedagang budak itu tidak mengenali Baginda Raja Harun Al Rasyid dalam pakaian yang amat sederhana.
"Apa maksud perkataanmu tadi?" tanya Baginda Raja dengan wajah merah padam.
"Abu Nawas telah menjual engkau kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya." kata pedagang budak dengan kasar.
"Abu Nawas menjual diriku kepadamu?" kata Baginda makin murka.
"Ya!" bentak pedagang budak.
"Tahukah engkau siapa aku ini sebenarnya?" tanya Baginda geram.
"Tidak dan itu tidak perlu." kata pedagang budak seenaknya. Lalu ia menyeret budak barunya ke belakang rumah. Sultan Harun Al Rasyid diberi parang dan diperintahkan untuk membelah kayu.
Begitu banyak tumpukan kayu di belakang rumah badui itu sehingga memandangnya saja Sultan Harun Al Rasyid sudah merasa ngeri, apalagi harus mengerjakannya.
"Ayo kerjakan!"
Sultan Harun Al Rasyid mencoba memegang kayu dan mencoba membelahnya, namun si badui melihat cara Sultan Harun Al Rasyid memegang parang merasa aneh.
"Kau ini bagaimana, bagian parang yang tumpul kau arahkan ke kayu, sungguh bodoh sekali !"
Sultan Harun Al Rasyid mencoba membalik parang hingga bagian yang tajam terarah ke kayu. la mencoba membelah namun tetap saja pekerjaannya terasa aneh dan kaku bagi si badui.
"Oh, beginikah derita orang-orang miskin mencari sesuap nasi, harus bekerja keras lebih dahulu. Wah lama-lama aku tak tahan juga." gumam Sultan Harun Al Rasyid.
Si badui menatap Sultan Harun Al Rasyid dengan pandangan heran dan lama-lama menjadi marah. la merasa rugi barusan membeli budak yang bodoh.
"Hai badui! Cukup semua ini aku tak tahan."
"Kurang ajar kau budakku harus patuh kepadaku!" kata badui itu sembari memukul baginda. Tentu saja raja yang tak pernah disentuh orang ini menjerit keras saat dipukul kayu.
"Hai badui! Aku adalah rajamu, Sultan Harun Al Rasyid." kata Baginda sambil menunjukkan tanda kerajaannya.
Pedagang budak itu kaget dan mulai mengenal Baginda Raja.
la pun langsung menjatuhkan diri sembari menyembah Baginda Raja. Baginda Raja mengampuni pedagang budak itu karena ia memang tidak tahu. Tetapi kepada Abu Nawas Baginda Raja amat murka dan gemas. Ingin rasanya beliau meremas-remas tubuh Abu Nawas seperti telur.

Strategi Maling
Tanpa pikir panjang Abu Nawas memutuskan untuk menjual keledai kesayangannya. Keledai itu merupakan kendaraan Abu Nawas satu-satunya. Sebenarnya ia tidak tega untuk menjualnya. Tetapi keluarga Abu Nawas amat membutuhkan uang. Dan istrinya setuju.
Keesokan harinya Abu Nawas membawa keledai ke pasar. Abu Nawas tidak tahu kalau ada sekelompok pencuri yang terdiri dari empat orang telah mengetahui keadaan dan rencana Abu Nawas. Mereka sepakat akan memperdaya Abu Nawas. Rencana pun mulai mereka susun.
Ketika Abu Nawas beristirahat di bawah pohon, salah seorang mendekat dan berkata, "Apakah engkau akan menjual kambingmu?"
Tentu saja Abu Nawas terperanjat mendengar pertanyaan yang begitu tiba-tiba.
"Ini bukan kambing." kata Abu Nawas.
"Kalau bukan kambing, lalu apa?" tanya pencuri itu selanjutnya.
"Keledai." kata Abu Nawas.
"Kalau engkau yakin itu keledai, jual saja ke pasar dan dan tanyakan pada mereka." kata komplotan pencuri itu sambil berlalu. Abu Nawas tidak terpengaruh. Kemudian ia meneruskan perjalanannya.
Ketika Abu Nawas sedang menunggang keledai, pencuri kedua menghampirinya dan berkata."Mengapa kau menunggang kambing."
"Ini bukan kambing tapi keledai."
"Kalau itu keledai aku tidak bertanya seperti itu, dasar orang aneh. Kambing kok dikatakan keledai."
"Kalau ini kambing' aku tidak akan menungganginya." jawab Abu Nawas tanpa ragu.
"Kalau engkau tidak percaya, pergilah ke pasar dan tanyakan pada orang-orang di sana." kata pencuri kedua sambil berlalu.
Abu Nawas belum terpengaruh dan ia tetap berjalan menuju pasar.
Pencuri ketiga datang menghampiri Abu Nawas,"Hai Abu Nawas akan kau bawa ke mana kambing itu?"
Kali ini Abu Nawas tidak segera menjawab. la mulai ragu, sudah tiga orang mengatakan kalau hewan yang dibawanya adalah kambing.
Pencuri ketiga tidak menyia-nyiakan kesempatan. la makin merecoki otak Abu Nawas, "Sudahlah, biarpun kau bersikeras hewan itu adalah keledai nyatanya itu adalah kambing, kambing ....... kambiiiiiing !"
Abu Nawas berhenti sejenak untuk beristirahat di bawah pohon. Pencuri keempat melaksanakan strategi busuknya. la duduk di samping Abu Nawas dan mengajak tokoh cerdik ini untuk berbincang-bincang.
"Ahaa, bagus sekali kambingmu ini...!" pencuri keempat membuka percakapan.
"Kau juga yakin ini kambing?" tanya Abu Nawas.
"Lho? ya jelas sekali kalau hewan ini adalah kambing. Kalau boleh aku ingin membelinya."
"Berapa kau mau membayarnya?"
"Tiga dirham!"
Abu Nawas setuju. Setelah menerima uang dari pencuri keempat kemudian Abu Nawas langsung pulang. Setiba di rumah Abu Nawas dimarahi istrinya.
"Jadi keledai itu hanya engkau jual tiga dirham lantaran mereka mengatakan bahwa keledai itu kambing?" Abu Nawas tidak bisa menjawab. la hanya mendengarkan ocehan istrinya dengan setia sambil menahan rasa dongkol. Kini ia baru menyadari kalau sudah diperdayai oleh komplotan pencuri yang menggoyahkan akal sehatnya.
Abu Nawas merencanakan sesuatu. la pergi ke hutan mencari sebatang kayu untuk dijadikan sebuah tongkat yang nantinya bisa menghasilkan uang.. Rencana Abu Nawas ternyata berjalan lancar. Hampir semua orang membicarakan keajaiban tongkat Abu Nawas. Berita ini juga terdengar oleh para pencuri yang telah menipu Abu Nawas. Mereka langsung tertarik. Bahkan mereka melihat sendiri ketika Abu Nawas membeli barang atau makan tanpa membayar tetapi hanya dengan mengacungkan tongkatnya. Mereka berpikir
kalau tongkat itu bisa dibeli maka tentu mereka akan kaya karena hanya dengan mengacungkan tongkat itu mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Akhirnya mereka mendekati Abu Nawas dan berkata, "Apakah tongkatmu akan dijual?"
"Tidak." jawab Abu Nawas dengan cuek.
"Tetapi kami bersedia membeli dengan harga yang amat tinggi." kata mereka.
"Berapa?" kata Abu Nawas pura-pura merasa tertarik.
"Seratus dinar uang emas." kata mereka tanpa ragu-ragu.
"Tetapi tongkat ini adalah tongkat wasiat satu-satunya yang aku miliki." kata Abu Nawas sambil tetap berpura-pura tidak ingin menjual tongkatnya.
"Dengan uang seratus dinar engkau sudah bisa hidup enak." Kata mereka makin penasaran.
Abu Nawas diam beberapa saat sepertinya merasa keberatan sekali. "Baiklah kalau begitu." kata Abu Nawas kemudian sambil menyerahkan tongkatnya.
Setelah menerima seratus dinar uang emas Abu Nawas segera melesat pulang. Para pencuri itu segera mencari warung terdekat untuk membuktikan keajaiban tongkat yang baru mereka beli. Seusai makan mereka mengacungkan tongkat itu kepada pemilik kedai. Tentu saja pemilik kedai marah. "Apa maksudmu mengacungkan tongkat itu padaku?"
"Bukankah Abu Nawas juga mengacungkan tongkat ini dan engkau membebaskannya?" tanya para pencuri
itu.
"Benar. Tetapi engkau harus tahu bahwa Abu Nawas menitipkan sejumlah uang kepadaku sebelum makan di sini!"
"Gila! Temyata kita tidak mendapat keuntungan sama sekali menipu Abu Nawas. Kita malah rugi besar!" umpat para pencuri dengan rasa dongkol.

Taruhan Yang Berbahaya
Pada suatu sore ketika Abu Nawas ke warung teh kawan-kawannya sudah berada di situ. Mereka memang sengaja sedang menunggu Abu Nawas.
"Nah ini Abu Nawas datang." kata salah seorang dari mereka.
"Ada apa?" kata Abu Nawas sambil memesan secangkir teh hangat.
"Kami tahu engkau selalu bisa melepaskan diri dari perangkap-perangkap yang dirancang Baginda Raja Harun Al Rasyid. Tetapi kami yakin kali ini engkau pasti dihukum Baginda Raja bila engkau berani melakukannya." kawan-kawan Abu Nawas membuka percakapan.
"Apa yang harus kutakutkan. Tidak ada sesuatu apapun yang perlu ditakuti kecuali kepada Allah Swt." kata Abu Nawas menentang.
"Selama ini belum pernah ada seorang pun di negeri ini yang berani memantati Baginda Raja Harun Al Rasyid. Bukankah begitu hai Abu Nawas?" tanya kawan Abu Nawas.
"Tentu saja tidak ada yang berani melakukan hal itu karena itu adalah pelecehan yang amat berat hukumannya pasti dipancung." kata Abu Nawas memberitahu.
"Itulah yang ingin kami ketahui darimu. Beranikah engkau melakukannya?"
"Sudah kukatakan bahwa aku hanya takut kepada Allah Swt. saja. Sekarang apa taruhannya bila aku bersedia melakukannya?" Abu Nawas ganti bertanya.
"Seratus keping uang emas. Disamping itu Baginda harus tertawa tatkala engkau pantati." kata mereka. Abu Nawas pulang setelah menyanggupi tawaran yang amat berbahaya itu.
Kawan-kawan Abu Nawas tidak yakin Abu Nawas sanggup membuat Baginda Raja tertawa apalagi ketika dipantati. Kayaknya kali ini Abu Nawas harus berhadapan dengan algojo pemenggal kepala.
Minggu depan Baginda Raja Harun Al Rasyid akan mengadakan jamuan kenegaraan. Para menteri, pegawai istana dan orang-orang dekat Baginda diundang, termasuk Abu Nawas. Abu Nawas merasa hari-hari berlalu dengan cepat karena ia harus menciptakan jalan keluar yang paling aman bagi keselamatan lehernya dari pedang algojo. Tetapi bagi kawan-kawan Abu Nawas hari-hari terasa amat panjang. Karena mereka tak sabar menunggu pertaruhan yang amat mendebarkan itu.
Persiapan-persiapan di halaman istana sudah dimulai. Baginda Raja menginginkan perjamuan nanti meriah karena Baginda juga mengundang raja raja dari negeri sahabat.
Ketika hari yang dijanjikan tiba, semua tamu sudah datang kecuali Abu Nawas. Kawan-kawan Abu Nawas yang menyaksikan dari jauh merasa kecewa karena Abu Nawas tidak hadir. Namun temyata mereka keliru. Abu Nawas bukannya tidak datang tetapi terlambat sehingga Abu Nawas duduk di tempat yang paling
belakang.
Ceramah-ceramah yang mengesankan mulai disampaikan oleh para ahli pidato. Dan tibalah giliran Baginda Raja Harun Al Rasyid menyampaikan pidatonya. Seusai menyampaikan pidato Baginda melihat Abu Nawas duduk sendirian di tempat yang tidak ada karpetnya. Karena merasa heran Baginda bertanya, "Mengapa engkau tidak duduk di atas karpet?"
"Paduka yang mulia, hamba haturkan terima kaslh atas perhatian Baginda. Hamba sudah merasa cukup bahagia duduk di sini." kata Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas, majulah dan duduklah di atas karpet nanti pakaianmu kotor karena duduk di atas tanah." Baginda Raja menyarankan.
"Ampun Tuanku yang mulia, sebenarnya hamba ini sudah duduk di atas karpet."
Baginda bingung mendengar pengakuan Abu Nawas. Karena Baginda melihat sendiri Abu Nawas duduk di atas lantai. "Karpet yang mana yang engkau maksudkan wahai Abu Nawas?" tanya Baginda masih bingung.
"Karpet hamba sendiri Tuanku yang mulia. Sekarang hamba selalu membawa karpet ke manapun hamba pergi." Kata Abu Nawas seolah-olah menyimpan misteri.
"Tetapi sejak tadi aku belum melihat karpet yang engkau bawa." kata Baginda Raja bertambah bingung.
"Baiklah Baginda yang mulia, kalau memang ingin tahu maka dengan senang hati hamba akan menunjukkan kepada Paduka yang mulia." kata Abu Nawas sambil beringsut-ringsut ke depan. Setelah cukup dekat dengan Baginda, Abu Nawas berdiri kemudian menungging menunjukkan potongan karpet yang ditempelkan di bagian pantatnya. Abu Nawas kini seolah-olah memantati Baginda Raja Harun Al Rasyid. Melihat ada sepotong karpet menempel di pantat Abu Nawas, Baginda Raja tak bisa membendung tawa sehingga beliau terpingkal-pingkal diikuti oleh para undangan.
Menyaksikan kejadian yang menggelikan itu kawan-kawan Abu Nawas merasa kagum.
Mereka harus rela melepas seratus keping uang emas untuk Abu Nawas.

Tetap Bisa Cari Solusi
Mimpi buruk yang dialami Baginda Raja Harun Al Rasyid tadi malam menyebabkan Abu Nawas diusir dari negeri Baghdad. Abu Nawas tidak berdaya. Bagaimana pun ia harus segera menyingkir meninggalkan negeri Baghdad hanya karena mimpi. Masih jelas terngiang-ngiang kata-kata Baginda Raja di telinga Abu Nawas.
"Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua. la mengenakan jubah putih. la berkata bahwa negerinya akan ditimpa bencana bila orang yang bernama Abu Nawas masih tetap tinggal di negeri ini. la harus diusir dari negeri ini sebab orang itu membawa kesialan. ia boleh kembali ke negerinya dengan sarat tidak boleh dengan berjalan kaki, berlari, merangkak, melompat-lompat dan menunggang keledai atau binatang tunggangan yang lain."
Dengan bekal yang diperkirakan cukup Abu Nawas mulai meninggalkan rumah dan istrinya. Istri Abu Nawas hanya bisa mengiringi kepergian suaminya dengan deraian air mata.
Sudah dua hari penuh Abu Nawas mengendarai keledainya. Bekal yang dibawanya mulai menipis. Abu Nawas tidak terlalu meresapi pengusiran dirinya dengan kesedihan yang terlalu mendalam. Sebaliknya Abu Nawas merasa bertambah yakin bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa akan segera menolong keluar dari kesulitan yang sedang melilit pikirannya. Bukankah tiada seorang teman pun yang lebih baik daripada Allah SWT dalam saat-saat seperti itu?
Setelah beberapa hari Abu Nawas berada di negeri orang, ia mulai diserang rasa rindu yang menyayat-nyayat hatinya yang paling dalam. Rasa rindu itu makin lama makin menderu-deru seperti dinginnya jamharir. Sulit untuk dibendung. Memang, tak ada jalan keluar yang lebih baik daripada berpikir. Tetapi dengan akal apakah ia harus melepaskan diri? Begitu tanya Abu Nawas dalam hati. Apakah aku akan meminta bantuan orang lain dengan cara menggendongku dari negeri ini sampai ke istana Baginda? Tidak! Tidak akan ada seorang pun yang sanggup melakukannya. Aku harus bisa menolong diriku sendiri tanpa melibatkan orang lain.
Pada hari kesembilan belas Abu Nawas menemukan cara lain yang tidak termasuk larangan Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, Abu Nawas berangkat menuju ke negerinya sendiri. Perasaan rindu dan senang menggumpal menjadi satu. Kerinduan yang selama ini melecut-lecut semakin menggila karena Abu Nawas tahu sudah semakin dekat dengan kampung halaman.
Mengetahui Abu Nawas bisa pulang kembali, penduduk negeri gembira. Desas desus tentang kembalinya Abu Nawas segara menyebar secepat bau semerbak bunga yang menyerbu hidung.
Kabar kepulangan Abu Nawas juga sampai ke telinga Baginda Harun Al Rasyid. Baginda juga merasa gembira mendengar berita itu tetapi dengan alasan yang sama sekali berbeda. Rakyat gembira melihat Abu Nawas pulang kembali, karena mereka mencintainya. Sedangkan Baginda Raja gembira mendengar Abu Nawas pulang kembali karena beliau merasa yakin kali ini pasti Abu Nawas tidak akan bisa mengelak dari hukuman.
Namun Baginda amat kecewa dan merasa terpukul melihat cara Abu Nawas pulang ke negerinya. Baginda sama sekali tidak pernah membayangkan kalau Abu Nawas ternyata bergelayut di bawah perut keledai. Sehingga Abu Nawas terlepas dari sangsi hukuman yang akan dijatuhkan karena memang tidak bisa dikatakan telah melanggar larangan Baginda Raja. Karena Abu Nawas tidak mengendarai keledai.

Tipu Dibalas Tipu
Ada seorang Yogis (Ahli Yoga) mengajak seorang Pendeta bersekongkol akan memperdaya Iman Abu Nawas. Setelah mereka mencapai kata sepakat, mereka berangkat menemui Abu Nawas di kediamannya.
Ketika mereka datang Abu Nawas sedang melakukan salat Dhuha. Setelah dipersilahkan masuk oleh istri Abu Nawas mereka masuk dan menunggu sambil berbincang-bincang santai.
Seusai salat Abu Nawas menyambut mereka. Abu Nawas dan para tamunya bercakap-cakap sejenak.
"Kami sebenarnya ingin mengajak engkau melakukan pengembaraan suci. Kalau engkau tidak keberatan bergabunglah bersama kami." kata Ahli Yoga.
"Dengan senang hati. Lalu kapan rencananya?" tanya Abu Nawas polos.
"Besok pagi." kata Pendeta.
"Baiklah kalau begitu kita bertemu di warung teh besok." kata Abu Nawas menyanggupi.
Hari berikutnya mereka berangkat bersama. Abu Nawas mengenakan jubah seorang Sufi. Ahli Yoga dan Pendeta memakai seragam keagamaan mereka masing-masing. Di tengah jalan mereka mulai diserang rasa lapar karena mereka memang sengaja tidak membawa bekal.
"Hai Abu Nawas, bagaimana kalau engkau saja yang mengumpulkan derma guna membeli makanan untuk kita bertiga. Karena kami akan mengadakan kebaktian." kata Pendeta. Tanpa banyak bicara Abu Nawas berangkat mencari dan mengumpulkan derma dari dusun satu ke dusun lain. Setelah derma terkumpul, Abu Nawas membeli makanan yang cukup untuk tiga orang. Abu Nawas kembali ke Pendeta dan Ahli Yoga dengan membawa makanan. Karena sudah tak sanggup menahan rasa lapar Abu Nawas berkata, "Mari segera kita bagi makanan ini sekarang juga."
"Jangan sekarang. Kami sedang berpuasa." kata Ahli Yoga.
"Tetapi aku hanya menginginkan bagianku saja sedangkan bagian kalian terserah pada kalian." kata Abu Nawas menawarkan jalan keluar.
"Aku tidak setuju. Kita harus seiring seirama dalam berbuat apa pun:" kata Pendeta.
"Betul aku pun tidak setuju karena waktu makanku besok pagi. Besok pagi aku baru akan berbuka." kata Ahli Yoga.
"Bukankah aku yang engkau jadikan alat pencari derma Dan derma itu sekarang telah kutukar dengan makanan ini. Sekarang kalian tidak mengijinkan aku mengambil bagian sendiri. Itu tidak masuk akal." kata Abu Nawas mulai merasa jengkel. Namun begitu Pendeta dan Ahli Yoga tetap bersikeras tidak mengijinkan Abu Nawas mengambil bagian yang menjadi haknya.
Abu Nawas penasaran. la mencoba sekali lagi meyakinkan kawan-kawannya agar mengijinkan ia memakan bagianya. Tetapi mereka tetap saja menolak.
Abu Nawas benar-benar merasa jengkel dan marah. Namun Abu Nawas tidak memperlihatkan sedikit pun kejengkelan dan kemarahannya.
"Bagaimana kalau kita mengadakan perjanjian." kata Pendeta kepada Abu Nawas.
"Perjanjian apa?" tanya Abu Nawas.
"Kita adakan lomba. Barangsiapa di antara kita bermimpi paling indah maka ia akan mendapat bagian yang terbanyak yang kedua lebih sedikit dan yang terburuk akan mendapat paling sedikit." Pendeta itu menjelaskan.
Abu Nawas setuju. la tidak memberi komentar apa-apa.
Malam semakin larut. Embun mulai turun ke bumi. Pendeta dan Ahli Yoga mengantuk dan tidur. Abu Nawas tidak bisa tidur. la hanya berpura-pura tidur. Setelah merasa yakin kawan-kawannya sudah terlelap Abu Nawas menghampiri makanan itu. Tanpa berpikir dua kali Abu Nawas memakan habis makanan itu hingga tidak tersisa sedikit pun. Setelah merasa kekenyangan Abu Nawas baru bisa tidur.
Keesokan hari mereka bangun hampir bersamaan. Ahli Yoga dengan wajah berseri-seri bercerita, "Tadi malam aku bermimpi memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirvana. Aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya dalam hidup ini."
Pendeta mengatakan bahwa mimpi Ahli Yoga benar-benar menakjubkan. Betul-betul luar biasa. Kemudian giliran Pendeta menceritakan mimpinya.
"Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Dan temyata memang benar. Aku secara tidak sengaja berhasil menyusup ke masa silam dimana pendiri agamaku hidup. Aku bertemu dengan beliau dan yang lebih membahagiakan adalah aku diberkatinya."
Ahli Yoga juga memuji-muji kehebatan mimpi Pendeta, Abu Nawas hanya diam. la bahkan tidak merasa tertarik sedikitpun.
Karena Abu Nawas belum juga buka mulut, Pendeta dai Ahli Yoga mulai tidak sabar untuk tidak menanyakan mimpi Abu Nawas.
"Kalian tentu tahu Nabi Daud Alaihissalam. Beliau adalah seorang nabi yang ahli berpuasa. Tadi malam aku bermimpi berbincang-bincang dengan beliau. Beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Aku katakan aku berpuasa karena aku memang tidak makan sejak dini hari Kemudian beliau menyuruhku segera berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani mengabaikan perintah beliau. Aku segera bangun dari tidur dan langsung menghabiskan makanan itu." kata Abu Nawas tanpa perasaa bersalah secuil pun.
Sambil menahan rasa lapar yang menyayat-nyayat Pendeta dan Ahli Yoga saling berpandangan satu sama lain.
Kejengkelan Abu Nawas terobati.
Kini mereka sadar bahwa tidak ada gunanya coba-coba mempermainkan Abu Nawas, pasti hanya akan mendapat celaka sendiri.

0 Komentar:

Posting Komentar

Tulis Komentar Anda Di Bawah Ini.
Write your comment here.

Recent Comments